BANDUNG - Tadi pagi, di warung Lontong Sayur Padang, tepatnya di Jalan Dipati Ukur Bandung Tiga orang bercerita, baru pulang dari kampung. Wajah mereka, berseri, penuh semangat, juga pada orang-orang yang kujumpai beberapa pekan belakangan ini.
Aku hanya, mendengar dan bertanya
menggali, apa yang dilakukannya selama di kampung. Sepintas, terlintas suasana kampung mereka. Menarik untuk dikenang.
Ketika mereka balik bertanya padaku, Aku katakan, Aku tidak punya kampung karena tidak pernah menetap di kampung, juga tidak ada yang ku kenal. Bahkan mereka di kampung tak ada yang mengenal keluargaku. Puluhan tahun sudah keluargaku meninggalkan kampung, dan tak kembali lagi.
Tersisa hanya pesan ayahku sebelum wafat.
“Jangan hilangkan nama Syarif pada nama keturunan kita” katanya. Kini alm. dimakamkan di Taman Makam Pahlawan-Pekanbaru. Beliau seorang tentara pejuang kemerdekaan, tegas bicaranya, keras orangnya. Aku tak sempat bertanya alasannya kenapa? Tapi aku mencoba mencari tahu.
Ketika berhaji 20 tahun yang lalu, Aku datangi kampung Syarif Terletak 15 KM arah timur laut dari Masjidil Harram, Mekah. Tak terjadi kelancaran komunikasi disana pada beberapa orang kebetulan lewat di kampung syarif. Aku berbahasa Inggris, mereka tak mengerti. Mereka berbahasa Arab, Aku tak mengerti.
Kutapaki juga Masjid bernama Syarif di beberapa kota, Istanbul, Turkey tak jauh dari Blue Mosque, Cairo, dekat masjid Imam Syafei
Atau ber-seberangan dengan Masjid Husein
(Cucu Nabi Muhammad). Juga terdapat masjid Syarif di luar Cairo.
Ponakan-ponakanku yang lahir dan besar di Sydney pun menggunakan nama Syarif. Hampir setiap ramadhan-syawal, Aku dan keluarga
Berkunjung kesana. Sebagai kampung kedua.
Kampung kedua sebuah istilah saja sering disebut sebagai tempat kedua setelah yang pertama, kampung halaman. Dikarenakan pernah tinggal dan atau keluarga banyak berada ditempat itu. Tentunya menjadi sebuah tempat yang menyenangkan.
Sydney, sebuah kota di benua Ausi. Tempat bermukimnya, sanak keluargaku. Mereka, datang sudah lama, 35 tahun, bahkan ada 50 tahun yang lalu. Awalnya sih, melanjutkan kuliah, Short-course, dan lain sebagainya.
Dasar suku perantau. Bila telah keluar, berpantang kembali, pesan yang sering diajarkan di surau-surau oleh saudaranya
yang pulang dari rantau. Itu sebabnya,
Kampung menjadi sepi, Mereka ramai ada di rantau.
Ada satu pepatah yang selalu mereka pegang
"Di mana langit dipijak, di situ langit dijunjung".
Maknanya: pandai-pandai di negeri orang.
Benar, mereka diterima baik di tempat mereka berada.
.
Mungkin masih melekat di benak kita peristiwa tsunami desember tahun 2004. Merapatnya kapal induk Australia di perairan pantai Padang.
Maksudnya, pemerintah Australia
khawatir akan keselamatan warga negara Australia asal Minang, terkena bencana Tsunami.
Lebaran tahun itu, ramai perantau pulang kampung bersilaturrahim. Memperbanyak silaturahim, sebuah ajaran agama mengajarkan tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah.
Pun, Aku dan keluarga berilaturrahim “Family Gathering” berkumpul sanak keluarga.
Senang rasanya. Shalat ied kami lakukan di sebuah Gedung berdekatan dengan Campbelltown Mosque(CM) yang baru saja diresmikan, terletak diKingsclare St, Leumeah, NSW.
Masjid terus bertambah jumlahnya, hampir di setiap kawasan Punchbowl, Minto, Bankstown, Tempe, dan lainnya.
Bangunannya tidak menunjukkan arah kiblat.
Dimaklumi karena bekas gereja. Dengan penataan tata kota yang ketat, tidak mudah keberadaan sebuah masjid, kecuali bekas gereja yang sudah ditinggal jamaatnya.
Lalu, dibeli oleh komunitas muslim. Hal itu dapat kita pahami saat ini. Bila aku bertanya
pada seseorang (bule) berada di train, bus, atau dimana saja, mereka akan katakan: “tak percaya adanya tuhan.”
Sementara, islam tumbuh bertambah populasinya dari waktu ke waktu ada saja yang menjadi mualaf. Kutanyakan pada mereka:
“Kenapa masuk islam?” Ada yang menjawab,
“melihat prilaku muslim.”
Aku kejar lagi dengan pertanyaan, prilaku seperti apa?.
“Ibadahnya, jujur dan santun, ” jawab bule yang baru mualaf. Mashaallah, Begitulah harusnya muslim sesungguhnya. Berprilaku, seperti yang dicontohkan nabi Muhammad.
Di kampung kedua pun diadakan Halal bi halal.
Setelah shalaat IED banyak makanan terhidang.
Masing-masing keluarga membawa bermacam makanan, ada Sate Padang; Dendeng Balado;
Kolak Ketan, dan lain sebagainya, khas Padang.
Penuh diatas meja panjang.
Jangan katakan “ tak enak!” Mereka tentu marah besar, karena telah bersusah payah memasaknya dari bahan-bahan yang telah lama disimpan didalam kulkas. Rasanya “ANYEP” Tau anyep???