JAKARTA - Rasanya tidak perlu risih untuk mengulang - ulang apa yang pernah diucapkan oleh Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, Earl Warren, lebih setengah abad yang lalu: "In civilized life, law floats in a sea of ethics" (dalam kehidupan yang beradab, hukum mengapung di atas samudra etika). Politikus dan pakar hukum Amerika itu adalah Gubernur California (1943 – 1953) menegaskan, “hukum itu sebagai sesuatu yang hanya dapat tegak. Berlayar. Bergerak. Di atas etika. Etika adalah landasan bagi hukum. Dan hukum pun mengapung di atas samuderanya”.
Hukum itu tak mungkin tegak dengan cara yang adil, jika air samudera etika tidak mengalir atau tidak berfungsi dengan baik, tukas Warren sambil menambahkan, “diperlukan penataan untuk mengembangkan infrastruktur etika jabatan-jabatan publik dan etika profesional yang berbasis pada etika sosial, yang berfungsi dengan baik dalam mengendalikan perilaku ideal warga masyarakat”.
Dikatakannya tumbuh dan berkembangnya “rule of law” diperlukan basis sosial yang luas bekerjanya sistem etika sosial dalam masyarakat. Jika hukum diumpamakan sebagai kapal, sementara etika itulah samuderanya, “maka kapal hukum tidak mungkin dapat berlayar mencapai pulau keadilan, jikalau air samuderanya (etka itu) kering dan tidak berfungsi”.
Munculnya gagasan pembentukan lembaga court of ethics di negeri ini, diprakarsai Jimly Asshiddiqie dan kawan-kawan. Dimunculkan ketika berlangsung konferensi hukum tata negara yang digelar di Padang September 2015. Gagasan pembentukan pengadilan etik penyelenggara negara merupakan paradigma baru. Seiring dengan terbentuknya berbagai lembaga negara yang sudah lebih dulu ada. Baik yang dibentuk oleh Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen, maupun organ negara yang telah terlebih dahulu ada sebelum perubahan Undang - Undang Dasar.
Saya mengirim WhatsApp kepada Prof. Jimly, yang juga mantan Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) Senin (09 Mei 2022) itu : “numpang tanya Prof. sampai dimana realisasi gagasan anda tahun 2015 untuk membentuk "rule of ethics dan "court ethics"..? Apa kendalanya ? Tidak lama kemudian, sorenya, pakar hukum Tata Negara jebolan UI (Universitas Indonesia) itu menjawab via WhatsApp juga: “hasil konvensi nasional terakhir disepakati untuk merancang sistemnya. Tapi selama Covid ini sedang kurang populer. Putusan MK terakhir agak melemahkan ide “Peradilan Etik” dengan mempertentangkannya dengan “Peradilan Hukum”. Dewan Etik di MK yang sudah habis masa jabatan, juga tidak melanjutkan”, katanya.
Ketua DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) 2012 - 2017itu melanjutkan, “bahkan kepekaan etika hakim juga kurang. Termasuk terkait akibat relasi iparan dengan Presiden. Begitu juga benturan kepentingan dalam komunikasi publik dalam urusan pribadi vs jabatan, makin menjadi – jadi. Seperti twit Menko atau statemen pribadi Menteri denga urusan dinas. Campur aduk”, ujar pria kelahiran Palembang 1956 itu.
Lebih jauh Jimly mengatakan, “puncak demoralisasinya pada pemecatan Terawan (mantan Menteri Kesehatan) oleh IDI. Karena pelanggaran kode etik berat. Yang dibela oleh semua pejabat pemerintahan secara emosional. Sehingga apa saja yang berbau penegakan etik dicemooh”, tandas Jimly yang pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres), sambil berkata lebih lanjut, “kepada pengurus IDI, saya menasihatkan supaya cooling down dulu tapi tetap Istiqomah ke depan. Organisasi tandingan jangan dianggap saingan. Karena karakternya beda. Ke depan negara kita memang harus ditata ulang, banyak yang mesti diperbaiki”, Jimly menutup pesannya.
Terus terang, saya menyesal tidak segera menjawab panggilan tilpon Prof. Jimly pada hari komunikasi wa itu terjadi. Misscall dari anggota DPD (2019 – 2024) daerah pemilihan DKI Jakarta tersebut, baru saya lihat di Hp saya berselang tiga jam kemudian. Tentu susah mencari waktunya untuk diajak berdialog langsung karena kesibukannya. Saya menenangkan diri, karena namun demikian, kami sering ketemu face to face dengannya pada acara “Diskusi Reboan” yang diadakan tiap hari Rabu di ruangan Institut Peradaban tempat Prof Salim Said berkantor.
Belakangan ini, tidak sulit menemukan munculnya berbagai pernyataan atau hasil kajian pakar hukum yang menyebutkan, sekarang etika sosial dan moralitas berbangsa kita justru sedang mengalami anomi, Keadaan seolah tanpa norma. Ditengarai akhlak bangsa merosot karena kebebasan yang tidak terkendali. Rumah ibadah semua agama penuh.
Tetapi masih saja terdapat perilaku beberapa gelintir oknum penganut agama sehari-hari, tidak mencerminkan kemuliaan ajaran agama yang diyakini. Bagaimana hendak mengharapkan hukum tegak dengan adil, jika sistem norma sosial dalam kehidupan bermasyarakat tidak berfungsi dengan baik dalam mengendalikan kualitas dan integritas perilaku kita sebagai warga masyarakat.
Yang menjadi masalah dewasa ini, - yang banyak dikeluhkan masyarakat, - bahwa lembaga negara yang yang mengatur etik, yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang bukan berbasis UUD 1945, faktanya hanya dapat dikatakan sebagai state auxiliary organ. Luas diketahui state auxiliary organ memiliki beberapa variasi. Diantaranya lembaga negara yang berada dibawah kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif, atau merupakan lembaga negara independen. Sifatnya lebih berposisi ad-hoc. Tidak bergigi. Dibendung oleh budaya ewuh pakewuh sesama sejawat. Belum merupakan suatu komitmen nasional yang mengikat. Tidak memiliki aroma “kemuliaan” yang mengharuskan lahirnya kepatuhan kolektif terhadapnya.
Oleh sebab itu, agar hukum dapat tegak dan terjaga dengan baik, maka pembangunan kesadaran etika masyarakat sangatlah urgen. Etika pada dasarnya lebih luas dari pada hukum. Setiap pelanggaran terhadap hukum, kebanyakan adalah pelanggaran juga terhadap etika. Akan tetapi sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Etika lebih luas, bahkan dapat dipahami sebagai basis sosial bagi bekerjanya sistem hukum.
Lalu, akan kemana perahu besar, - bangsa besar ini - yang bernama Indonesia, akan dilayarkan oleh pemimpinnya yang menjadi nahkoda diatas samudera yang airnya tidak mengalir? Adakah kepastian perjalanan perahu besar ini ke tempat tujuan dapat tercapai? Yang diibaratkan sedang berlayar dibawah kendali pemimpin negeri yang telah menggeser elemen etika sebagai dekorasi demokrasi musiman belaka.
Suara rakyat bukan lagi representasi kedaulatan bernegara. Lebih dirasakan sebagai pelengkap legitimasi belaka di dalam kontestasi demokrasi yang berbasis electoral power (kekuatan suara terbanyak) yang melahirkan turunan pembawa cacat bawaan : budaya money politic. Perdagangan suara telah melembaga menjadi budaya baru: sarana jual – beli paket demokrasi transaksional. Ujungnya sangat tragis, hanya memproduksi banyak pejabat publik yang inkompeten. Pemimpin jadi – jadian. Menjadi badut bulan – bulanan KPK. Rasanya bangsa ini sedang memasuki sebuah era kelam; dimana semuanya, sepertinya, harus selalu atas nama uang. Eksistensi etika mengalami pembunuhan secara perlahan tapi pasti. Tanpa ada yang merasa kehilangan. Tidak ada lagi kepedulian akan “hilangnya” Pancasila, sebagai sumber dari segala sumber etika yang mengawal penegakan hukum.
“Jika hukum diumpamakan sebagai kapalnya, maka etika wajib menjadi samudera yang mengalirkan airnya”, mengutip semangat pesan Earl Warren.
JAKARTA, 11 Mei 2022
Zainal Bintang
Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya